Kala senja

Kala Senja

Disana senja semakin memerah
Mengusik sendu di sudut jiwa
Bila sang waktu menghempas duka
Hanya doa dan harap yang dapat kupersembahkan
"Ya Gustiku... 
Aku pasrahkan semua takdir hidup ini padaMu... "
                                                                                                                                      Malang, April Kelabu


"Ups!” badan Ade terasa limbung, akibatnya tumpukan buku yang dipegangnya berjatuhan di lantai. 
"Maaf ya... Nggak sengaja!" ujar sosok yang menabraknya dengan nada menyesal sambil ikut sibuk membantu Ade mengemasi buku. 
"Eh, kamu Ade kan?! "
Siapa?? Sepertinya... Dengan perasaan ragu Ade berpaling pada sosok di hadapannya. 
"Kak Yusfan?! Ya Tuhan, Kak... " pekik Ade ikut terkejut. Reflek Ade merengkuh tubuh Yusfan, kemudian buru-buru melepaskan pelukannya dengan perasaan rikuh. Mereka tidak pernah melakukan hal seperti itu pada saat pacaran dulu. Tanpa disadari beberapa pasang mata mengawasi tingkah mereka. 
"Kemana saja Kak Yusfan selama ini? Aku selama ini mencari Kakak," seru Ade berusaha untuk tidak histeris sambil menatap haru pada Yusfan. Seseorang yang pernah disakitinya atau malah sebaliknya, Yusfan yang dulu pernah begitu saja meninggalkannya Dua butir bening telah meleleh di pipi Ade. 
Yusfan hanya tersenyum penuh simpati. 
"Kamu punya waktu nggak? Kita bicara di luar yuk!" ajak Yusfan seolah tidak ingin mengomentari pertanyaan Ade sekarang. 
"Tentu." jawab Ade mengiyakan. Padahal ia hampir terlambat mengikuti kuliah siangnya.
Ade membayar beberapa buku pada kasir lalu mengikuti langkah Yusfan yang berjalan di sampingnya. 
"Di sana? " usul Yusfan sambil menunjuk deretan bangku dari beton di pinggir taman tidak jauh dari toko buku itu.
Ade mengangguk setuju. 
                                                    
                                                               ***

"Bagaimana kabarmu, De? " tanya Yusfan memulai pembicaraan. 
"Baik." Ade berusaha untuk bersikap wajar. Dia masih tidak percaya kalau kini Yusfan benar-benar berada di hadapannya. Tetap sama seperti bayangan empat tahun yang lalu, masih berkacamata. Terlihat begitu tenang dan sederhana, namun lebih dewasa. 
"Masih sering ketemu Vian? "
"Enggak juga, hanya tiga kali setelah lulusan sekolah. Si Vian melanjutkan study-nya di Jogja.” jawab Ade menjelaskan. Dia jadi ikut merindukan Vian, sahabat SMA-nya itu. 
"Lalu kabar Haris?" Yusfan mencoba mengusik. 
"Emm… " Ade berfikir sejenak mencari jawaban.  "Baik." lanjutnya berbohong. 
Ampun ya Tuhan... Jangan biarkan kenangan tentang Haris kembali terusik. Batin Ade sedang berusaha melupakannya. 
"Kak Yusfan sendiri ke mana saja selama ini?” Ade mencoba mengalihkan pembicaraan. 
“Aku tinggal di Malang. Di rumah Budheku. Sekalian kuliah di sana." Yusfan menyerongkan posisi duduknya menghadap Ade, sambil menatapnya dalam-dalam seolah sedang mencari sesuatu dari diri Ade. Diam-diam dia sangat merindukan gadis itu. 
"Terlalu sulit melupakanmu, De... " ujar Yusfan terus terang. Sekilas membuat Ade kembali merasa resah.
"Tapi jangan khawatir, sekarang aku sudah menemukan dewi impianku yang baru," sesekali Yusfan membetulkan letak kacamata di hidungnya.  "Meskipun dia tidak secantik kamu, tapi aku menyayanginya." lanjutnya meyakinkan.
Ade tersenyum tipis mendengar ungkapan Yusfan. Tentu dia percaya bahwa Yusfan tulus menyayangi gadis itu. Ade tau Yusfan tidak pernah bermain dengan perasaannya, dia selalu serius dalam menyikapi segala sesuatu. 
"Kamu masih bersama Haris?” tanya Yusfan saat pandangannya melihat cincin polos melingkar di jari manis Ade. 
Ade hanya mengangguk lalu terdiam. Dia tidak ingin menceritakan kisah hidupnya yang sudah terkubur. Tapi kehadiran Yusfan saat ini membuat Ade kembali mengenang hampir seluruh masa lalunya. 

Berawal saat... 

Hujan sore diakhir Januari itu, Ade berteduh di teras toko material bangunan yang sudah tutup. Dingin. Hampir separuh seragamnya telah basah karena berlarian untuk berteduh. Termasuk sepatu dan tas ransel penuh buku di punggungnya. 
Jam menunjukkan pukul lima lebih sepuluh menit, hampir Maghrib. Jalanan mulai sepi. Angkutan menuju rumahnya tidak kunjung muncul. Hanya sesekali terlihat kendaraan melintas. Mungkin karena hujan, orang-orang jadi malas keluar rumah. Ade jadi menyesal, seharusnya dia langsung pulang setelah les Bahasa Inggris-nya bubar. Dan tidak ikut acara jalan-jalan sama si Vian. Nah, inikan akibatnya kalo suka bohongin mama. Batinnya.
"Telepon rumah minta di jemput Kakak!” usul otaknya cemerlang. Ade buru-buru mengeluarkan ponselnya dari kantong tasnya. Dipencetnya tombol kontak-cari-House-panggil...
Gagal!
Ups! Ade lupa kalo pulsanya habis. Bahkan tadi malam SMS yang ia kirim ke Vian juga gagal terkirim. Memang Papanya memberi jatah pulsa pas-pasan. Ade sendiri yang boros. Terkadang tengah bulan juga sudah habis. 
Ade melihat ke sekelililngnya ,tidak ada konter di sekitar tempat ia berada. Memang terlihat papan bertuliskan "Wadra Cell". Tapi jarak untuk ke sana cukup jauh, dan tidak ada payung. Bisa-bisa tubuhnya basah kuyup terguyur hujan.
Ade malas harus bawa payung ke sekolah. Padahal dia tau beberapa hari selalu turun hujan. Atau nekat pulang jalan kaki? Emmm, nggak sanggup deh. Karena berarti Ade harus berjalan hampir tiga kilo meter dengan melewati satu tikungan dan sebuah jurang. Belum lagi makam yang terkanal angker itu. Hiiii syerreem! 
Ade mulai putus asa menunggu hujan yang tak kunjung reda. Tiba-tiba sepeda motor berhenti persis di depannya. Decit bannya menggencet Kubangan air. Ade tidak sempat menghindar. Baju putihnya terkena percikan air coklat tua. Ade menggerutu, sementara tangannya mengusap-usap noda lumpur itu. 
"Mau bareng nggak?" tanya cowok yang mengendarai motor itu sok tak bersalah sambil membuka teropong helmnya.
Ade memandanginya dengan sedikit bingung. Premankah dia? Mama bilang banyak preman yang berkeliaran sore-sore begini. Eh, bukan-bukan! Cowok itu bukan preman. Buktinya dia memakai seragam sekolah beralmamater sama denganku. batinnya melonjak girang. Ade merasa pernah bertemu dengannya di sekolah, tetapi mereka tidak saling mengenal. 
"Cepetan! Mau bareng nggak?” seru cowok itu hampir berteriak.
Tanpa berpikir panjang Ade mengangguk setuju. Kemudian dengan canggung, ia duduk di boncengan cowok itu. Mereka tak lagi peduli dengan hujan yang masih turun. 
"Rumah kamu yang pagar hijau dekat pertigaan itu kan?" tanya si cowok memastikan. 
"Iya." jawab Ade.
Hanya percakapan singkat itu, lalu keduanya terdiam. Sampai akhirnya mereka tiba di depan rumah Ade. Ade buru-buru turun dari boncengannya karena takut dimarahi Mama kalo sampai ketahuan pulang di antar cowok. 
"Terima kasih ya." ucap Ade sambil tersenyum.
Cowok yang memberinya tumpangan hanya mengangguk.
Ade tidak tau apakah dia juga membalas senyumnya dari balik teropong helmnya. Lalu cowok itu mulai melajukan motornya kembali. Memutar arah dan kemudian menghilang di tikungan jalan. 
Ade berjanji akan memimpikannya nanti malam. 
                                                                 ***

Keesokannya, tanpa sengaja Ade melihat cowok yang menolongnya. Ia sedang duduk di perpustakan. Dia tidak melihat Ade karena terlalu sibuk dengan buku yang dibacanya. Ingin Ade menyapanya, tapi Vian buru-buru menarik tangan Ade, mengajaknya keluar ruangan. 
Pada hari berikutnya, Ade kembali melihat si Cowok di kantin sekolah sedang menikmati bakso dan es teh yang menjadi menu makan siangnya. 
"Eh Vi, itu anak yang aku ceritakan sama kamu." bisik Ade bersemangat. 
"Yang mana sih, De?” tanya Vian penasaran.
Ade tidak berani menoleh ke belakang. Vian mencoba mengamati, ada beberapa anak di sebelah sana. 
"Itu yang pake kacamata." Ade kembali berbisik.
"Ya ampun De! Dia kan Yusfan. Kakak kelas kita. Anak kelas tiga IPS yang kelasnya sebelah aula. Masak sih kamu nggak kenal?! Dia kan slalu jadi juara satu umum. Rumahnya nggak jauh dari rumahku. Bapaknya punya warnet di sebelah gang, aku kenal sama kakaknya." cerocos Vian panjang lebar menjelaskan. 
"Kamu kok nggak pernah cerita sih Vi?"
"Kan kamu sendiri yang nggak pernah cerita, Jangan-jangan kamu naksir ya?" Vian membela diri. 
"Kak Yusfan! Sini!" Vian melambaikan tangannya ke arah Yusfan. 
"Ngapain kamu manggil dia sih, Vi?!" protes Ade.
Vian tidak peduli. Ia hanya tersenyum lucu menggoda Ade. 
Yusfan pun menghampiri mereka. Ade jadi sedikit gugup dan mulai merasakan detak jantungnya berdegup tak beraturan. 
"Nih, Ade pengen ngomong sesuatu sama Kakak." Tuduh Vian tiba-tiba.
"Vian!”  Ade memelototkan matanya tanda protes.  "Enggak ada apa-apa kok, Kak." sergahnya yang salah tingkah.  "Aku hanya mau bilang terima kasih buat tumpangannya kemaren.” Ia melanjutkan. 
"Oh. Biasa saja. Kita kan seantero. Wajar kalo saling nolong." balas Yusfan sambil mamerin senyumnya yang penuh arti. 
Vian memperhatikan mereka secara bergantian. "Ehm! Ehm! Asiiik… ada yang sedang jatuh cinta nih!" godanya sambil cengar-cengir sendiri. 
                                                                    ***

Sejak saat itu mereka mulai sering menyapa kalau bertemu. Mulai akrab, mulai nitip-nitip salam, sesekali chating di WhatsApp. Terkadang sepulang sekolah Yusfan main ke rumah Ade bersama Vian. 
Jatuh cinta?? Nggak! Ade tidak mencintainya. Ia hanya menganggap Yusfan sebagai sahabat atau kakak yang nyaman di ajak curhat, yang mau mendengar keluh kesahnya. Karena sebenarnya di hati Ade masih ada Haris. Cowok egois, keras keras kepala, dan angkuh itu. Satu tahun mereka pacaran, sejak Ade kelas satu pada akhir semester pertama. Haris kelas tiga.
Haris adalah cinta pertama Ade. Ade tulus menyayanginya. Bukan karena Haris populer di sekolah, juga bukan karena dia cakep dan keren. Meskipun Haris sering melukai perasaan Ade, menghianati Ade, tapi Ade selalu setia. Meskipun hubungannya dengan Haris telah berakhir tiga bulan yang lalu. 
Suatu sore, di teras rumah Ade, Yusfan menyatakan perasaannya. 
"De, aku ingin jujur sama kamu. Jujur, sudah lama aku memperhatikanmu, tertarik padamu. Dan, diam-diam aku mencintaimu. Maukah kamu jadi pacarku?" suaranya pelan dan bergetar. Tentu Yusfan telah mengumpulkan seluruh keberaniannya untuk mengungkapkan perasaannya pada Ade. 
Ade bimbang. Di satu sisi ia masih mencintai Haris, tapi di sisi lain ada Yusfan yang bersedia mengobati luka hatinya. Dilema. 
Ya Tuhan, dosakah bila Ade ingin berpaling pada hati yang lain, pada seseorang yang mungkin akan menyayanginya dengan tulus?

Beberapa hari kemudian Ade dan Yusfan pun benar-benar jadian. Betapa Yusfan sangat mencintai gadis itu, menjaganya, menghargainya. Yusfan tidak pernah ingin melukai perasaan Ade, begitu juga sebaliknya. Ade berusaha mengisi hatinya dengan kehadiran Yusfan. Ade berharap Yusfan tidak pernah tau masa lalunya dengan Haris.
Tujuh bulan setelah Ade dan Yusfan pacaran, pada akhir semester ke enamnya. Haris datang menemui Yusfan. 
"Yus, aku menyesal telah meninggalkan Ade. Demi Tuhan aku masih mencintainya. Aku mohon, izinkan aku kembali kembali dengannya."
Sialan!
Haris meminta Ade kembali dari sisi Yusfan. Tapi untuk kali ini Haris serius. Dia berjanji tidak akan mngecewakan dan menyakiti perasaan Ade lagi. Dan, sebenarnya selama ini Yusfan sudah tau semua masa lalu Ade dengan Haris. Bahkan, Yusfan jatuh cinta pada Ade saat Ade masih bersama Haris. Yusfan juga tau jika Ade masih menyimpan rasa untuk Haris. 
Patah hati? Tentu saja. Tapi sayang Yusfan pada Ade terlalu besar. Dia akan merelakan apa pun demi kebahagiaan Ade. Termasuk merelakannya kembali bersama Haris. Bukankah cinta tak harus memiliki? Dan, semua itu terjadi tanpa sepengetahuan Ade. 

Setelah ujian semester, Yusfan menghilang dari sisi Ade. Ade tidak pernah lagi bertemu dengan Yusfan. Sampai acara perpisahan sekolah pun Yusfan tak terlihat. Ade mencarinya, tapi keluarga Yusfan merahasiakan keberadaannya. Nomor ponselnya tidak aktif, teman-temannya pun tidak ada yang tau di mana ia berada. Seolah bumi dan langit telah menyembunyikan Yusfan dari Ade. Yusfan membiarkan Ade berpikir bahwa dia juga telah mengkhianatinya sama seperti Haris. Di sinilah segalanya berawal dan berakhir. 
Yusfan telah mengakhiri kisahnya, sedang Haris mencoba mengawalinya. Haris membuktikan kesungguhan cintanya kepada Ade. Enam bulan yang lalu, setelah Haris menyelesaikan tiga tahun pendidikan penerbangannya di London, Haris pulang untuk melamar Ade secara resmi. 
Yusfan menyentuhnya, membuyarkan bayangan masa lalunya. Yusfan dengan lembut mengusap pipi Ade yang basah. 
"Kenapa kamu menangis? Apa Haris telah mengecewakanmu?" tanya Yusfan penuh perhatian. 
"Tidak, dia menjagaku dengan sangat baik,” jawab Ade sedikit parau. Tidak seharusnya dia menangis seperti itu di hadapan Yusfan. 
"Maafkan aku, De. Dulu aku sudah meninggalkanmu tanpa pamit. Aku tau keputusanku itu telah membuatmu resah dan kecewa.”
"Aku juga minta maaf karena sudah mengkhianati Kak Yusfan, padahal..." Ade belum selesai bicara tapi Yusfan telah merengkuhnya, membiarkan Ade menangis dalam pelukannya. 
"De, aku melakukan semua itu demi kamu. Aku sangat menyayangimu. Aku percaya Haris pasti lebih bisa membahagiakanmu. Sudahlah De, biarkan kisah itu berlalu." Yusfan melepaskan pelukannya. Di pandandanginya lagi gadis yang dulu dimilikinya itu. Ingin sekali ia menyelami kedalaman jiwa Ade lagi.
Tuhan, kenapa waktu sekian lama masih belum mampu membuatnya melupakan Ade? Kenapa harus Ade yang selalu hadir dalam mimpi-mimpinya? Kenapa bukan gadis yang kemarin dipeluknya saat mengantarkannya ke stasiun kereta api, kenapa?  Yusfan benci bila harus menipu dan membohongi dirinya sendiri, Ade, juga gadis itu. 
Di atas, langit mendung. Mungkin sebentar lagi hujan. 
"Maaf De, aku harus pergi. Sore ini aku akan kembali ke Malang." pamit Yusfan. Sebenarnya ia merasa begitu berat meninggalkan Ade. 
"Kamu mau aku antar?" Yusfan menawarj. 
"Tidak usah Kak. Kak Yusfan pulang aja dulu. Aku masih ada keperluan di sini." jawab Ade menolak. 
"Kalau gitu aku pulang dulu ya, De. Nanti sampai rumah aku hubungi kamu. Nomornya masih tetap yang dulu kan?"
"Iya, Kak. Hati-hati ya Kak.”
Yusfan mengangguk dan bersalaman dengan Ade, kemudian berlalu pergi. 
Beberapa saat kemudian, hujan benar-benar turun membasahi rapuhnya jiwa Ade. 
"Ya Tuhan... " rintih Ade pelan. Mencoba meraba kepingan hatinya yang tersisa. Andai saja kamu tahu Yus... Sebenarnya Haris telah meninggalkanku lagi. Tapi kali ini dia pergi bersama pecahan pesawat yang di pilotinya tiga bulan yang lalu. 


OLEH: Antinea





Komentar

Postingan populer dari blog ini

PENGENALAN BAHAN DAN ALAT-ALAT MENJAHIT

Tips dan cara belajar menjahit untuk pemula

Fashion Milenials